LihatJuga. Hakikat Taqwa Menurut Islam oleh: Abdul Aziez Muslim Terbitan: (2008) ; Taqwa : jalan menuju sukses abadi oleh: Yazid bin Abdul Qadir Jawas Terbitan: (2010) ; Jangan khawatir dengan rezekimu : : (Hakikat rezeki menurut Al-Qur an) oleh: Al-BIRAH, Sulaiman Ash-Shadiq Terbitan: (2014) Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Oleh Abidin Ghozali Al-GrabyaganiPenulis adalah Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah JakartaEtika Dalam Pemikiran Sufi“Etika” sebagaimana kita tahu bahwa istilah ini berasal dari kata Yunani kuno. Yang dalam bentuk tunggalnya kata Ethos memiliki banyak arti kebiasaan; adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak Ta Etha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti terahir ini lah yang menjadi latar belakang terbentuknya kata “Etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles 384-322 menunjukan filsafat yang disebut juga filsafat moral, meneliti kaidah-kaidah yang membimbing manusia sehingga dalam jalan yang baik dan benar. Di dunia barat pemikiran tentang dunia ini berawal dari Sokrates, mazwab Stoa, dan Epikurus. Dalam filsafat India pemikiran etik berpangkal pada ajaran Karma dan Sufi seorang yang mengerti dan mengamalkan ilmu Tasawuf. Kaum sufi akrab dengan berbagai ritual keagamaan seperti wirid, do’a dan i’tikaf untuk melakukan ritual ini kaum sufi ada yang melakukannya dengan cara Uzlah Mengasingkan diri, Muraqabah Kontemplasi penuh dengan kewaspadaan, Muhasabah pemeriksaan atau ujian terhadap diri.Sejak dekade akhir abad ke II Hijriah, Sufi sudah populer dikalangan masyarakat dunia Muslim, Ibrahim Basyuni, dalam kitab “Nasy-at-Tasawuf fi-I Islam” mengungkapkan bahwa kaum sufi di identikkan dengan kaum Muhajirin yang bertempat di serambi masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Zaar al-Ghiffari. Mereka menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhud terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah. pola hidup mereka kemudian di contoh oleh sebagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebut kaum kemunculan kaum sufi sudah bisa dilacak apakah memiliki konsep hidup yang etis, membedakan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Cara hidup kaum sufi dalam perkembangannya memang mendapakan banyak corak yang pada fase awal kemunculan sufi, fase asketisme setidaknya berlangsung sampai akhir aban II Hijriah dan memasuki fase kedua dimana peralihan dari asketisme ke arah sufisme yang ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Dalam fase ini ramai para ulama sufi bermunculan tak ubahnya jamur dimusim hujan seperti al-Muhashibi w. 243 H, al-Harraj dan al-Junaid al-Bagdadi w. 297 H tokoh terkemuka ini telah mengkonsep hidup etis tentang bagaimana cara hidup yang dilakukan oleh seorang ini agaknya memiliki faktor pemicu paling tidak ada tiga hal pertama karena gaya hidup yang glamor-profanistik dan corak kehidupan materialis-konsumerialis yang dipraktikan oleh kalangan eksekutif dan segera menyebar ke masyarakat luas. dan para kaum sufi melakukan protes dengan gaya murni etis, melalui pendalaman kehidupan rohani-sepiritual. Tokoh populer yang dapat mewakili kelompok ini dapat ditunujuk Hasan al-bashri w. 110 H yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan Islam, melalui doktrin al-zuhd, al-khauf, dan al-raja; selain itu juga Rabiah al Adawiyah w. 185 H dengan ajaran populernya al-mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki 9w. 200 H dengan konsepsi al-syauq sebagai ajaran Uzlah Surri as-Saqathi w. 253 H adalah nampaknya menjadi faktor kedua, dilihat dari kondisi sosio-politik pada masanya singgah mengasingkan diri dan menjauhi masyaraka yang sudah memilih hidup hedonis dengan gerakan politik yang mempropaganda pilihan untuk hidup sendiri dan mengindar agaknya cukup rasional untuk mencari jalan tampaknya dari faktor kodifikasi hukum Islam Fiqh dan Teologi yang dialektis rasional, sehingga kurang bermotivasi ethikal yang menyebabkan nilai sepiritualnya hilang, menjadi semajam wahana tiada isi, semacam bentuk tanpa adanya faktor-faktor sehingga menghilangkan atau kurang bermotif etika untuk mengembalikan nilai-nilai kerohaniyan, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam Malakut. Para kaum sufi ini berjuang. Pada abad ketiga ini juga Abu Yazid al-Bisthomi w. 260 H melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yakni beralih dan meleburnya sifat kemanusian nasut seseorang kedalam sifat ilahiyat terjadi penyatuaan manusia dengan Tuhan dalam yang sudah dipaparkan Di atas sejak Abad ke-II Hijriyah hingga III Hijriyah banyak sekali tokoh sufi yang muncul antara lain Al-Muhasibi H, Al-Harraj w. 277 H, Al-Junaid al-Bagdadi w. 297, Hasan Al-Bashri w. 110 H, Rabiah al-Adawiyah w. 185 H, Ma’ruf al-Kharki w. 200 H, Surri as-Saqathi w. 253 H, Abu Yazid al-Bistomi w. 260 Hdan begitu seterusnya hingga jaman Imam Al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali 1058-1111 inilah tokoh yang menurut penulis representatif untuk dirujuk pemikiranya tentang etika. Ia adalah seorang filsuf, teologi, ahli hukum, dan sufi dikalangan barat ia dikenal dengan nama Alqazeel. Al-ghazali lahir dan meninggal di Thus, dan ajaran Etika dalam yang sudah disinggung di atas, bahwa sumber etika dalam sufi adalah Al-Quran. Setelah itu dalam pembahasan ini akan dipaparkan juga sumber-sumber seperti kehidupan Nabi, Akhlak, dan perkataan Sunnah. Setelah itu kehidupan sahabat dan perkataan sebagai sumber pembentuk etika sufiJika kita merujuk pada al-quran dan sunnah kata “etika” yang dalam hal ini diartikan dengan akhlak maka tidak ditemukan yang ditemukan dalam al-quran hanyalah bentuk tunggal yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surah Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. Sebagai rasul, “Sesungguhnya engkau Muhammad beradi diatas budi pekerti yang agung” QS Al-Qalam [68] 4Kata akhlak banyak ditemukan didalam hadis-hadis Nabi Saw., dan salah satu yang populer adalah “ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”Berpangkal dari Al-Quran dan sunnah. Namun pada kenyataannya perbuatan manusia manusia sangatlah beragam dan memang keberagan tersebut sudah ditentukan oleh Allah. firman Allah tersebut bisa dijadikan Argumen “Sesungguhnya usaha kamu hai manusia pasti amat beragam” QS Al-Lail [92] 4.Keberagaman prilaku manusia dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, prilaku baik dapat mengantar manusia pada Tuhannya sedangkan prilaku yang buruk mengantarkan manusia pada yang dianggap reprensentanif sebagai pemikir sufistik terkait prilaku manusia yang menjurus pada kesengsaraan menawarkan penawar yang dalam hal ini bisa kita sebut sebagai konsep prilaku etis yang berlandasankan pada Ayat Al-quran dan sunnah. Diantaranya Nafsu makan yang rakus Hadist “Tidak yang paling disukai Allah dibanding lapar dan dahaga” sabda beliau pula, “barang siapa memenuhi perutnya kekenyangan tidak akan masuk kerajaan langit” Sabdanya pula, “Lamar adalah raja segala amal”. adalah menjadi penyebab awal daari segala kerakusan, menjadi sumber syahwat, yang kemudian menimbulkan nafsu berbicara kotor Baca QS An-Nisa 114 ini menjadi konsep etis selanjutnya. Kebiasaan berbicara kotor harus segera dihentikan, karena sangat berpengaruh pada hati. Secara khusus, lisan merupakan proyektor hati. Setiap kata yang terlontar akan menjadikan goresan dalam hati dan akan merusak dalam benaknya. Rasullah saw, bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari akhirat, maka hendaknya berkata baik atau diam. “ Bukhari-Muslim sabdanya pula, “Barang siapa banyak bicara, maka banyak salahnya, dan barang siapa banyak banyak salahnya berarti banyak pula dosanya, dan barang siapa banyak dosanya, maka neraka lebih layak baginya.” Al-hadisAmarah adalah nyala api dari neraka Allah swt., yang menjelat hingga keruang hati. Orang yang tidak bisa menahan amaranya identik dengan orang yang telah menggeser prilakunya pada perangai setan yang memang diciptakan dari api. Oleh karena itu, kemampuan mengendalikan amarah dipandang penting oleh agama. Sabda Nabi “Bukanlah orang yang kuat itu karena kemampuan bergulat, tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang bisa mengendalikan nafsunya ketika marah”.Selanjutnya kedengkian, Rasul bersabda “Sesungguhnya dengki hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar” belau juga bersabda “Ada tiga perkara dimana tidak seorang pun yang dapat terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, jangan dinyatakan, dan bila timbul didalam hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan, dan bila timbul dalam hatimu rasa dengki, jangan dipertuturkan.”Bakil dan cinta harta, menjadi sorotan selanjutnya yang menjadikan seorang kebada berbuatan buruk. Bakil adalah penyakit hati yang sangat kronis dan riskan baca QS Al-Hasyr 9 yang artinya “Dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, nereka itulah orang-orang yang beruntung”. Baca Al-Imran 180, baca QS An-nisa 37. Lalu ambisi dan gila harta, Allah berfirman ”Negri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan dimuka bumi” QS Al-Qashash83 dalam hal ini Rasul bersabda “Cinta harta dan tahta dapat menimbukan kemunafikan di dalam hati, sebagai mana air dapat menumbuhkan buah-buhan”.cinta duunia, adalah pangkal dari segala dosa. Dunia tidak sama dengan harta dan tahta saja. Harta dan tahtah hanyalah bagian kecil saja dari dunia yang amat luas ini. Namun perhiyasan dunia yang diciptakan Allah Firman-Nya “Sesuungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan bagi mu” QS. Al-Kahfi 7 dan segala kesenangannya telah terangkum dalam Baca QS Ali Imran 14 namun, agaknya telah jelas bahwa dunia ini tidak lain hanyalah permainan belak. Baca Al-Hadid 20 ...”Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”...QS. An-Nazi’at 40.takabur, “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang wenang.” QS Al-Mu’min 35. Selanjutnya sifat Takjub diri, merasa dirinya hebat karena banyak pengikut atau teman Baca At-Taubah 25. Menyangka diri yang perbutannya paling baik Allah mengabadikan kecamannya dalam Quran...”Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. QS Al-Kahfi 104. Merasa diri suci Allah mengingatkan dalam Quran “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” QS An-Najm 32.riya’, Firman Allah swt.”Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbat riya’...QS. Al-Maa’uun 4 Allah memberikan kisi-kisi kepada siapa yang akan diberi-Nya makan tanpa balasan bahkan ucapan trimakasih tidak butuh Baca QS. Al-Insan 9 dan dalam firman-Nya “barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. QS. Al-kahfi 110itulah macam-macam prilaku yang menyebakan manusia mengarah kepada kesengsaraan. Al-ghazali menghimbau. Ketahuilah, akhlak tercela itu amat banyak. Namun, prinsipnya kembali pada uraian Di atas. Tidak bisa sekedar membersikan sebagian, melainkan harus secara untuk mencapai kemuliaan Al-ghazali mengajarkan yang pertama dalah taubat. Taubat merupakan awal perjalanan para penempuh dan merupakan kunci kehagian para pengharap hadirat Allah. Allah swt. berfirman “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan dir.” QS. Al-baqarah 222Dan firman-Nya pula “Dan bertaubatlah kamu sekalin kepada Allah...”QS. An-Nur 31.Selanjutnya, Khauf Takut, Allah stw. Benar-benar memberikan anugrah kepada oang-orang yang takut kepada-Nya, berupa hidayah, rahmat ilmu dan ridha. Allah swt berfirman“... Petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya” QS. Fathir 28.Allah itu ridha kepada orang-orang takut kepada-Nya, begitu pun orang-orang yang takut pada-Nya itu ridha pada Allah. Baca QS. Al-Bayyinah 8.Zuhud, menjadi pilar utama kaum sufi untuk mencapai kehadirat-Nya. Hal ini pun para sufi berpijak pada Al-Quran. Allah swt. berfirman, “Dan janganlah kamu tunjukan matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” QS. Thaha 131Sepertinya dalam pemikiran etika sufi itu paham betul dengan apa yang harus diharapkannya didunia ini yaitu keuntungan yang akan didapatkan di akhirat kelak bukan didunia ini. Bukan karena tidak diberi jika kita mengharapkan keuntungan didunia ini. Namun Allah tidak akan memberikan apa pun kelak diakhirat. Namun, jika mengharapkan keuntungannya kelak di akhirat maka Allah akan memberikan lebih banyak. Baca QS. Asy-Syuura 20Selanjutanya sabar, Allah swt., berfirman, “Dan bersabarlah Allah beserta orang-orang yang sabar” QS. Al-Anfal 46. Ada beberapa hal yang diberikan kepada orang-orang yang sabar dan tidak diberikan kepada selainnya Mendapat keberkatan sempurna dan rahmat Tuhannya, Baca QS. Al-Baqarah 157, mendapat pahala yang jauh lebih baik dari apada atas apa yang mereka kerjakan Baca QS. An-Nahl 96, tidak berrhenti disitu Allah akan menjadikannya pemimpin Baca QS. As-Sajdah 24 Firman Allah swt. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” QS. Az-Zumar 10.Syukur, Allah swt., berfirman “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang berterimaksih.” QS. Saba 13.Sindiran ayat di atas menjadi motivasi kepada kaum sufi dan menyakini firman Allah swt. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti akan menambah nikmat kepadamu” QS. Ibrahim 7.Ihklas dan jujur, Ikhlas memiliki hakikat, prinsip dan ikhlas adalah niat, sebab dalam niat itu terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran apapun yang mencampurinya. Kesempurnaan ikhlas adalah Al-Ghazali memberikan Pilar-pilar Ikhlas Pilar Pertama Niat,Allah swt., berfirman dalam QS. Al-An’am 52. “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.”Arti niat menurut kaum sufi adalah kehendak dan keinginan memperoleh ridha Allah Kedua Keihhlasan swt. telah berfirman “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam Menjalankan agama denga lurus. “ QS. Az-Zumar 3Tawakal, Firman Allah wst. “Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri” QS. Ibrahim 12 banyak bertebaaran ayat-ayat tentang taqwa dalam al-quran yang menjadi landasan kaum sufi dalam menyerahkan diri kepada esensial Hakikat taqwa merupakan kondisi rohani yang lahir dari tauhid, dan pengaruh terwujudnya dalam alam nyata. Tawakal memiliki tiga pilar Pertama, pengenalan diri akan Allah Ma’rifat, kondisi takwa haal dan Allah berfirman, “ Allah mencintainya dan mereka puun mencintainya” Al-Maidah 54. Bagi para kaum sufi puncak dari pada cinta adalah memandang wajah Allah Yang Maha Mulia nanti diakhirat. Menurut Al-Ghazali hal ini tidak mungkin terjadi di Dunia karena tidak mungkin tersingkap sekarang. ...”Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku.” QS. Al-A raaf 143 dan firman-Nya ..”Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata”. QS. Al-An’am 103.Ridha terhadap kadha’, Firman Allah Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya” QS. Al-Maidah 119 dalam kaitan ini banyak pula hadist Rasullah seperti sabdanya, “Apabila Allah mencintai seorang Hamba, Dia mencobanya. Jika hamba itu sabar, Allah memilihnya. Dan bila ridha Dia mengutusnya”.Mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani, Al-Ghazali telah menyebutkan kesembilan maqam ruhani dan itu bukanlah terdiri sendiri-sendiri. Justru sebagian diantaranya menunjukan esensi maqam yang lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta Mahabbah dan prinsip atau maqam ridha Rela terhadap ketetapan Allah; keduanya merupakan maqam tertinggi. Di antara maqam tersebut saling berkaitan dengan maqam lainnya, seperti maqam taubat dan zuhud; maqam takut khuuf dan hal menyangkut kematian Al-ghazali banyak mengihmpun hadis-hadis Nabi, “Perbanyak mengingat pengancur kelezatan-kelezatan!”dan juga sabdanya, ”Barang siapa tidak menyukai pertemuan dengan Allah, Allah pun tidak suka bertemu dengannya.” Dan masih banyak lagi hadis serupa yang Imam Al-Ghazali ingat mati menurut al-ghazali adalah akan membawa manusia benci kepada dunia, sedangkan benci pada dunia adalah pangkal dari kebaikan. Bagi kaum sufi 9Ahli Ma’rifat mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan kegunaan; pertama, benci pada dunia dan kedua, rindu ditutup dengan Introspeksi diri. Gagasan etis al-ghazli ini terdapat dalam kita “Kitab Arba’in fi Ushuliddin” Bairut Daar Kutub Al-Imiyah, cet I, 1409/1988.Kehidupan Sahabat dan Perkataan merekaSumber lain yang dijadikan dalam pemikiran sufi untuk mendapatkan nilai-nilai seperti zuhud dan wara’ Menjaukan diri dari dosa, kesederhanaan dan memusatkan diri kepada Allah. seorang pengkaji sejarah sufi Islam modert, tak mungkin melepaskan mainstream-mainstream spiritual dan intuisi hati yang ada dalam kehidupan para sahabat dan perkataan-perkataan dalam makalah ini tidak akan mungkin untuk menjelaskan atau menderitakan secara keseluruhan kehidupan dan perkataan para sahabat Nabi. Penulis hanya akan menjelasakan secara global sebagai mana perkataan Abu Attabah al-Halwani “apakal kalian tidak ingin aku ceritakan kondisi Hal para sahabat Nabi SAW? “Pertama, bahwa bertenu dengan Allah merupakan sesuatu yang paling mereka cintai dalam kehidupan. Kedua, mereka tak pernah meresa takut terhadap musuh, baik banyak maupun sedikit. Ketiga mereka tidak pernah takut karena permasalahan dunia, dan mereka sangat percaya dengan rizki yang diberikan oleh Allah”Abu bakar Shidik merupakan seorang ahli zuhud hingga berlapar diri selama 6 hari, dan hanya mempunyai sepotong pakaian. Ia berkata “Jika seorang hamba merasa kagum atas perhiyasan-perhiayasan dunia, maka Allah akan membencinya hingga ia melepaskan diri dari perhiasan tersebut” Ia juga berkata tentang takwa yakni karena dirinya tawadhu “Aku menemukan kemulian pada diri ketakwaan, kekayaan pada diri keyakinan, dan keanggungan dalam ketawadhu’an” dan Ia bicara tentang ma’rifah Pengetahuan “Barang siapa yang mencintai sebuah pengetahuan murni, maka akan memalingkan dari selain Allah, serta menjauhkannya dari manusia”. dan junaid salah satu ulama besar sufi menceritakan tentang Abu bakar berkata Kalimat yang paling utama tentang tauhid adalah perkataan Abu bakar yang mengatakan “Maha suci zat yang tidak menciptakan jalan bagi mahluk, kecuali makluk tersebut tak akan mampu untuk mengetahui-Nya”PenutupDemikianlah sumber-sumber ajaran etis dalam pemikiran sufi. Dimana semua perbuatan hendaknya bertujuan untuk mendapatkan keutamaan dari Allah swt. Al-Ghazali menjelasakan dalam tingkatannya bahwa syariat hingga menuju hakikat dan pengetahuan puncak tentang tuhan atau ma’rifat adalah melalui perbuatan – perbuatan yang berdasarkan Al-quran yang telah di jelaskan diatas. K. Bertens “Etika” Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 1993 h. Arif Surahman “Kamus Istilah Filsafat” Yogyakarta. Matahari. 2012 Cet. 1 h. 96 M. Abdul Muiieb dkk. “Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali” Jakarta. PT Mizan Bublika. 2009 Imam Al-Ghazali “Teosofia Al-Quran” Pen.Surabaya Risalah Gusti, 1995 judul asli buku ini “Kitabul Alba’in fi Ushuliddin” Bairut Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1409/1988 cet 1. Abu wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani “Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya” Jakarta Gaya Media Pratama. 2008 h 54 ibid Tasawuf ialah mistisisme dalam Islam atau sufisme. Istilah ini berasal dari kata Arab Shuf Wol, sejenis pakainan tenunan kasar yang menjadi ciri utama kalangan pertapa awal yang cederung kepada kesederhanan simbolik dari pada kemewahan materi. Lihat Filsafat Selengkapnya
REPUBLIKACO.ID, JEDDAH-- Pemerintah Arab Saudi telah membantah pernyataan bahwa air Zam Zam --yang berasal dari mata air di dalam kompleks Masjidil Haram Makkah--tercemar. Kerajaan Arab menegaskan tak ada ancaman kesehatan pada air suci itu. Dewan Pimpinan Urusan Dua Tempat Suci mengatakan di dalam satu pernyataan, Sabtu (7/5), dewan tersebut tak menerima
On retrouve dans le Coran un verset d’une importance majeure dans son évaluation de la valeur intrinsèque et de l’intégrité morale des êtres humains qu’ils soient hommes ou femmes. Il s’agit du verset suivant Coran 49 ;13 Ô vous les humains ! Nous vous avons créés d’un homme et d’une femme et Nous avons fait de vous des peuples et des tribus pour que vous vous entre –connaissiez. Le plus méritant d’entre vous auprès de Dieu, est le plus - pieux, fidèle, dévoué - atquakoum ».Notons, dès le départ, l’entrée en matière de ce verset où il est explicitement rappelé aux humains leur origine commune. Celle d’un homme et d’une femme. Et de cette même origine, s’est établi une humanité répartie en une multitude de peuples et de diversité de ces peuples fait souvent oublier l’origine commune et l’unité de la création. Cette diversité voulue par Dieu est sublimée dans ce verset où il est demandé à ces différents peuples justement de se connaître mutuellement afin de ne jamais oublier leur origine a créé tous ces peuples et ces nations avec leurs spécificités, leurs différences, leurs cultures, leurs modes de vie… A partir de l’unité de la création Dieu a justement créé la diversité comme une épreuve… Vivre la diversité, accepter l’Autre dans sa différence n’est-elle pas encore aujourd’hui vécue comme un défi à tous nos égocentrismes modernes ?L’incitation coranique faite à ces peuples de se connaître est une invitation à l’enrichissement mutuel à travers cette attitude humaine de l’ouverture sur l’Autre indépendamment de sa différence, de son ethnie ou de sa culture d’origine. La connaissance mutuelle dont parle le Coran consiste donc à enrichir l’expérience humaine, constamment, éternellement, par cet apport de l’Autre, en ce qu’il a de meilleur à offrir de sa spécificité à l’universel humain. Le plus méritant d’entre vous auprès de Dieu, est le plus dévoué atquakoum » …De cette diversité humaine, Dieu ne fait point de différence, entre tous ces êtres humains qu’Il a créé, nul ne peut prétendre à une considération particulière ou à une préférence quelconque de la part de Dieu…Il n’y a ni peuple élu, ni nation privilégiée… L’égalité de tous les êtres humains aux yeux du Créateur est absolue et elle transcende tous les particularisme, de race, d’ethnie, de couleur ou de sexe…Le seul mérite auprès de Dieu est celui que le Coran défini dans ce verset comme étant la Taqwa »…Mais que veut dire au juste la Taqwa » ? Étymologiquement , la Taqwa a un sens de prévention et de prophète l’a définie comme étant une qualité intériorisée dans le cœur. Dans un hadith connu il affirma en parlant de la Taqwa at- Taqwa est ici , at- Taqwa est ici » en faisant un signe de sa main vers son cœur[1].Omar Ibn al-Khattab, a demandé un jour à un compagnon, Oubay Ibn Kaab, de lui expliquer le sens de Taqwa ? Oubay a répondu Supposons que tu te retrouves un jour sur une route parsemée d’épines que ferais - tu ? ». Omar de répondre je retrousserais mes manches et je m’efforcerais d’éviter ces épines ! ouchamir wa ajtahid ». Ce à quoi Oubay a répondu Et bien la Taqwa c’est cela ! »[2] . Autrement dit, c’est l’effort fourni afin d’éviter les épines, autrement dit, les épreuves de la vie ».La Taqwa est souvent traduite par piété ». Dans la signification islamique traditionaliste la Taqwa a le plus souvent été enfermée dans le domaine stricte des Ibadates, autrement dit du culte, et de la morale individuelle. On l’identifie souvent d’ailleurs comme un comportement religieux caractéristique de ceux qui appartiennent à un mouvement mystique de retrait du monde. Toujours selon cette signification la Taqwa est synonyme de peur de Dieu, de crainte, voire comme certains l’ont appelée de crainte révérencielle ».Il est vrai que la Taqwa peut être assimilée à de la piété, à de la crainte, à la peur du Créateur, ceci étant un sentiment commun retrouvé dans le cœur des pratiquants et toutes les religions ont insisté sur ce lien entre la pratique du culte et la peur de la punition divine. Ce sont là des sentiments tout à fait humains et finalement spontanés, inhérents à la nature humaine ou Fitra, qui n’est autre que cette empreinte de la présence de Dieu, enfouie dans le plus profond de nos âmes la Taqwa ne peut être circonscrite à la piété et la peur…En fait, la Taqwa a deux dimensions essentielles, l’une intérieure, dans le cœur des croyants comme l’a bien défini le prophète, mais aussi une dimension extérieure, qui consiste justement a extérioriser cette qualité en des actes et en un comportement reflétant cette vertu du cœur. En d’autres termes et comme l’a bien décrit Oubay, quand il en décrivait le sens au Calife Omar, c’est avant tout l’effort personnel entrepris par chaque homme et chaque femme afin d’affronter les défis et les épreuves de la vie!La Taqwa doit d’abord être comprise et vécue comme étant une valeur spirituelle d’amour, de respect du Créateur mais qui doit être mise en pratique dans la vie de tous les jours. C’est l’ouverture constante de l’esprit vers le s’approcher par des actes de vertu à Dieu et être dans cette proximité intime et constante avec le Créateur de ces mondes. C’est avoir la conscience d’être avec Dieu toujours et partout à travers son cœur et ses ainsi que l’on constate comment le Coran insiste sur cette égalité de tous les êtres humains dont le seul critère de préférence pris en compte par Dieu est celui d’une Taqwa conçue dans son sens pluriel et ouvert. Et non pas, comme l’ont compris certains, dans un sens restrictif de dévouement passif, fataliste et vain. La Taqwa, certes, c'est être dévoué au Créateur et à ses injonctions mais c’est un dévouement qui sait rester actif, vivant, créatif, et qui ne peut se réaliser que dans l’intelligence de la foi et de la dans ces sens que la Taqwa, doit être comprise et vécue, comme une profonde exigence de liberté », puisque adhérer à la foi et à la transcendance c’est finalement délivrer sa raison » des futilités matérielles et des passions négatives et s’élever vers la liberté infinie. L’homme pieux se sent profondément libre !...Rousseau n’avait il pas affirmé à juste titre Rendez moi libre en me protégeant contre mes passions qui me font violence, empêchez moi d’être leur esclave et forcez moi d’être mon propre maitre en n’obéissant point à mes sens mais à ma raison ».[3]Les hommes et les femmes doivent rivaliser dans cette Taqwa afin d’avoir les mérites du Créateur. Elle n’est finalement que cette spiritualité qui devient par l’effort et le mérite, une force libératrice, qui délivre les croyants et croyantes des chaines du matérialisme à outrance et qui les élève très haut vers les cieux de la meilleur d’entre toutes les femmes et tous les hommes devant Dieu c’est donc celui et celle qui saura se libérer de ses passions, de son Nafss ou égo et qui fera le plus d’efforts pour se dévouer et pour accomplir le plus grand nombre de belles actions dans cette vie, pour les autres, tous les autres, quelles que soient leur origine, couleur ou race. C’est là, l’illustration des plus belles égalités entre hommes et femmes, égalité qui se fait dans la liberté, l’engagement du cœur et dans le dévouement de l’ LamrabetAvril 2013[1] Hadith transmit par le compagnon Abderrahmane Ibn Sakhr , ouvrage al mashikha al baghdadia » Abi tahar assalafy, vol 23.[2] Tafssir Ibn Kathir du verset 2 , sourate 2.[3] Islam et modernité », Abdellah Laroui, Centre culturel Arabe,3me édition, 2009, Casablanca, p 58. Perbedaantingkat pendidikan Muridin ( calon Wali Allah ) Menurut daftar pengajaran Sufi murid-murid itu dibagi atas tiga golongan, sebagaimana kitab-kitab Sufi pun dibagi atas tiga golongan bagi masing-masing mereka. Pembagian golongan itu adalah pertama mubtadi, orang-orang yang baru mempelajari ilmu Syari'at, yang belum suci sama sekali
Syukur merupakan kata yang lazim diucapkan dalam keseharian masyarakat. Syukur menjadi pembahasan dalam bab tersendiri dalam kajian tasawuf. Syukur dibahas dengan beragam pandangan orang-orang sufi dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah. Pembahasan syukur dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah diawali dengan kutipan Surat Ibrahim ayat 7 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ Artinya, “Sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya Kutambahkan nikmat kalian,” Surat Ibrahim ayat 7. Terkait syukur, al-Qusyairi mengutip sebuah hadits yang menceritakan Atha dan Ubaid bin Umair. Suatu hari keduanya menemui sahabat Aisyah ra. “Kabarkan kepada kami apa yang paling mengherankanmu dari perbuatan Rasulullah saw!” kata Atha. Siti Aisyah ra menangis. Ia kemudian bercerita bahwa suatu malam Rasulullah saw mendatanginya dan berbaring di kasurnya atau di dalam selimutnya sehingga kulit keduanya saling bersentuhan. “Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini,” katanya. “Aku senang dekat dengamu Rasulullah,” jawab Aisyah ra. Rasulullah saw kemudian mendekati kirbat berisi air dan berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air untuk wudhunya. Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam. Rasulullah saw mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir sehingga membasahi dadanya. Ia turun untuk rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian itidal dan sujud. Ia juga bersujud dalam keadaan menangis. Bangun dari sujud ia juga menangis. Rasulullah saw terus melakukan shalat dengan menangis sepanjang malam sampai Bilal ra datang untuk mengabarkannya azan subuh. “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra. “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur dan mengapa aku tidak melakukannya?” jawab Rasulullah. * Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menyebut pengertian syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt. Adapun berikut ini adalah hakikat syukur yang disebutkan oleh al-Qusyairi. حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الاعتراف بنعمة المنعم على وجه الخضوع Artinya, “Hakikat syukur menurut ahli hakikat adalah pengakuan atas nikmat Allah, Zat pemberi nikmat, dengan jalan ketundukan,” Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, ar-Risalatul Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam 2010 M/1431 H], halaman 97. Hakikat syukur dapat juga berarti pujian terhadap orang yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannya. Dengan demikian, syukur seorang hamba kepada Allah adalah pujian kepada Allah dengan menyebut kebaikan-Nya. Sedangkan syukur Allah kepadanya berupa pujian Allah dengan menyebut kebaikan hamba-Nya. Adapun kebaikan seorang hamba adalah ketaatannya kepada Allah. Sedangkan kebaikan Allah adalah pemberian nikmat Allah kepadanya berupa taufik dan hidayah agar ia mau bersyukur. Syukur atas nikmat Allah diucapkan dengan mulut dan disadari dengan hati. Sedangkan sebagian ulama membagi syukur dengan tiga ekspresi, pengakuan dengan lisan atas nikmat Allah, kepatuhan oleh anggota badan atas ibadah yang diperintahkan, dan syukur hati dengan musyahadah. Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H 97-98. Abu Ustman mengatakan, syukur adalah menyadari keterbatasan kita untuk bersyukur. Ulama lainnya menambahkan, syukur karena bisa bersyukur merupakan nikmat yang lebih sempurna dari sekadar mensyukuri nikmat karena kita meyadari bahwa tanpa taufik-Nya kita takkan dapat bersyukur. Al-Junaid ketika berusia 7 tahun mengatakan saat ditanya pamannya di hadapan para jamaah "Syukur itu adalah kau tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-Nya." Abu Ustman mengatakan, syukur orang awam terkait dengan nikmat makanan, pakaian, dan material lainnya, sedangkan syukur orang khawash terkait pengertian dan pemahaman yang masuk ke dalam batin mereka. Nabi Dawud as mengatakan, “Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu? Syukurku atas nikmat-Mu merupakan nikmat batin tersendiri dari sisi-Mu.” Suatu hari seseorang menemui Sahal bin Abdullah at-Tustari. Ia mengadu musibah kehilangan bahwa seorang pencuri masuk ke dalam rumahnya dan mengambil barang berharganya. “Bersyukurlah kepada Allah. Bagaimana kalau pencuri yaitu setan masuk ke dalam hatimu dan merusak keyakinanmu?” kata At-Tustari. Wallahu a’lam. Ustadz Alhafiz Kurniawan
MENURUTSYARIAT MANUSIA ITU TERDIRI DARI 4 ANASIR(TANAH,AIR,API,ANGIN) MENURUT HAKEKAT Manusia itu terdiri atas empat unsur yang saling berkaitan a. Jasad, yaitu badan kasar manusia yang nampak, dapat diliat, dapat difoto, dapat dilihat dan menempati ruang dan waktu b. Hayat, yaitu mengandung unsur hidup yang ditandai dengan gerak PENGERTIAN DAN LANDASAN TASAWWUF Akar kata “tasawwuf” memiliki ragam makna. Sebagain pendapat mengatakan bahwa “tasawwuf” diambil dari akar kata bahasa arab shofaa -yashfuu yang artinya “suci murni”. Dalam pengertian ini, imam Bisyr bin al-Harits, salah seorang sufi terkemuka sebagaimana dikutip syekh Muhammad Mayyarah dalam kitab Syarh al-Mursyid al-Mu’in, berkata لصُّوْفِيّ مَنْ صَفَا قَلْبُهُ للهِ تَعَالَى Orang sufi ialah orang yang hatinya murni bagi Allah. Penulis Artikel “PENGERTIAN & LANDASAN TASAWWUF” OLEH Fikri Badjeber. Dok Foto Facebook Dapat pula “tasawwuf” diambil dari kata shuuf. Artinya “kain wol”. Dalam makna ini imam Abu Ali al-Raudzabari, yang juga seorang sufi besar, berkata مَنْ لَبِسَ الصُّوْفَ عَلَى الصّفَا وَكَانَتِ الدُّنْيَا مِنْهُ عَلَى القَفَا وَسَلَكَ مِنْهَاجَ المُصْطَفَى seorang sufi adalah orang yang dalam kesuciannya memakai kain wol, menjauhi kenikmatan dunia, dan berpegang teguh pada jalan rasulullah. Secara definitif sebagai sebuah disiplin ilmu, “tasawwuf” diartikan beragam. Di antaranya perkataan imam al-Junaid al-Baghdadi, seorang pemuka kaum sufiالخُرُوْجُ عَنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنِيّ، وَالدُّخُوْلُ فِي خُلُقٌ سَنِيّ Keluar dari setiap akhlak tercela dan masuk kepada setiap akhlak terpuji Syekh Zakariyya al-Anshari, berkata التَّصَوُّفُ هُوَ عِلْمٌ تُعْرَفُ بهِ أحْوَالُ تَزْكِيَةِ النّفْس، وَتَصْفِيَةِ الأخلاق، وَتَعْمِيْرِ الظّاهِرِ وَالبَاطِنِ لِنَيْلِ السّعَادَة ِالأبَدِيَّة Tasawwuf adalah sebuah ilmu yang dengannya diketahui keadaan-keadaan dalam mensucikan jiwa, membersihkan akhlak, menghiasi zhahir dan batin untuk mencapai kebaagian dunia dan akhirat Imam Abu Bakar al-Syibly, ketika ditanya oleh Abu al-Hasan al-Farghani tentang siapakah seorang yang sufi, menjawab مَنْ صَفَا قَلْبُهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ المُصْطَفَى، وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ القَفَا، وَأذَاقَ الهَوَى طَعْمَ الجَفَا Sufi adalah seorang yang hatinya bersih, maka ia menjadi suci. Seorang yang menapaki jalan Rasulullah, membuang dunia di belakang punggungnya dan menjadikan hawa nafsu merasakan kepahitan Ketika ditanya kembali definisi lain dari seorang sufi, al-Syibli berkata مَنْ جَفَا عَنِ الكَدَرِ، وَخلصَ مِنَ العَكر، وَامْتَلأ بالفِكْر، وَتَسَاوَى عِنْدَهُ الذهَبُ وَالمَدَرُ Adalah orang yang menjauhi kekeruhan, membersihkan diri dari aib, memenuhi dirinya dengan berfikir dan tidak berbeda baginya antara emas dan debu Dan ketika ditanya definisi tasawwuf, imam Syibly berkata تَصْفِيَةُ القلُوْبِ لِعَلاَّمِ الغُيُوبِ Membersihkan hati hanya bagi Allah; Yang mengetahui segala yang ghaib Ketika ditanya kembali definisi lain dari tasawwuf, imam Syibly berkata تَعْظِيْمُ أمْرِ اللهِ وَالشّفَقَةُ إِلَى عِبَادِ اللهِ Mengagungkan segala perintah Allah dan mencintai para hanba Allah Definisi lain mengatakan الجِدُّ فِي السُّلُوكِ إلَى مَلِكِ المُلُوْكِ Usaha keras dalam suluk menuju Allah. Tasawwuf sebagai sebuah nama belum dikenal pada masa awal perkembangan Islam. Namun sebagai sebuah ajaran sudah ada. Bahkan apa yang dicontohkan Rasulullah dalam kesehariannya dihadapan para sahabat adalah unsur-unsur tasawwuf yang merupakan landasannya. Firman Allah dalam al-Qur’an وَأمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى، فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأوَى النازعات 40-41 Adapun Orang yang takut akan keagungan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda أحَبُّ العِبَادِ إلَى اللهِ تَعَالى الأتقِيَاءُ الأخْفِيَاء، الذيْنَ إذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوْا، وَإذَا شَهِدُوْا لَمْ يُعْرَفُوا، أولئِكَ هُمْ أئِمَّة الهُدَى وَمَصَابِيْحُ العِلمِ رواه أبو نعيم Hamba-hamba yang dicintai oleh Allah adalah mereka yang bertaqwa dan yang tersembunyi. Bila tidak hadir, mereka tidak dicari. Dan bila hadir mereka tidak dikenali. Mereka adalah para imam yang membawa petunjuk dan lentera-lentera ilmu. Sahabat Umar bin al-Khattab berkata اخْشَوْشِنُوْا وَتَمَعْدَدُوْا {ikhsyausyinuu wa tama’daduu} Maksud perkataannya ikhsyausyinuu adalah “Biasakanlah oleh kalian untuk menjauhi kenikmatan”. Pengertian tama’daduu “Biasakanlah oleh kalian untuk mencontoh Ma’ad ibn Adnan”. Ma’ad ibn Adnan adalah salah seorang kakek Rasulullah yang beragama Islam, sangat disegani di kaumnya, namun demikian beliau selalu menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi. Pernyataan Umar ini memberikan keterangan jelas kepada kita bahwa ajaran-ajaran tasawwuf di kalangan sahabat nabi sudah ada. LANDASAN TASAWWUF; ILMU DAN AMAL Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa tasawwuf adalah usaha untuk mencapai keridlaan Allah dengan meraih derajat tinggi kwalitas taqwa. Titik final ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengikuti segala yang telah digariskan syari’at. Dengan demikian tasawwuf sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya tasawwuf adalah ajaran Islam itu sendiri. Karena itulah, ajaran yang diemban para imam sufi adalah berpegang teguh dengan apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu Nu’aim, salah seorang ulama terkemuka di sekitar abad 4 hijriah, menulis sebuah kitab berjudul Hilyah al-Auliya Fi Thabaqat al-Ashfiya’. Sebuah kitab yang berisi penyebutan biografi kaum sufi dari masa ke masa hingga masanya sendiri. Beliau menulis karya tersebut untuk membedakan antara sufi sejati yang benar-benar sufi dengan kaum sufi gadungan palsu. Dalam penyebutan biografi kaum sufi tersebut, Abu Nu’aim memulai dengan kaum sufi kalangan sahabat nabi 100 tahun pertama hijriah. Di mulai dengan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Kemudian dari kalangan tabi’in 100 tahun kedua hijriah seperti al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-Tsauri dan seterusnya. Selanjutnya dari kalangan atba’ at-Tabi’in 100 tahun ketiga hijriah. Hal ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa kaum sufi sejati adalah mereka yang berpegang teguh dengan ajaran nabi. Dalam Islam kaum sufi bukan sebagai komunitas tersendiri. Tapi sebaliknya kaum sufi terdiri dari berbagai kalangan ulama. Ada yang berasal dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan lainnya. Dalam aqidah mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam fiqh, secara umum, mereka berpegang teguh kepada salah satu dari empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Karena itu, landasan yang paling pertama ditanamkan oleh kaum sufi adalah ilmu. Yaitu mempelajari ajaran-ajaran syari’at Islam. Kemudian dilanjutkan dengan amal, artinya mengerjakan ketentuan-ketentuan syari’at tersebut. Dari sini derajat takwa sebagai tujuan suluk perjalanan akan diraih. Seseorang tidak akan pernah mencapai apa yang telah dicapai kaum sufi sejati bila tidak mengetahui syari’at, karena ia tidak akan pernah mencapai derajat takwa. Dan karenanya Allah tidak menjadikan para wali-Nya mereka yang bodoh dengan syari’at-Nya. Dalam pada ini imam Syafi’i berkata مَا اتَّخَذَ اللهُ وَلِيًّا جَاهِلاً Allah tidak mengangkat seorang wali yang bodoh THARIQAT Di antara tanda-tanda kaum yang mengaku sufi padahal sufi tidak seperti mereka adalah mereka yang memisahkan atau membeda-bedakan antara syari’at dan thariqat, atau membedakan antara syari’at dengan hakekat. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang tidak shalat, puasa, atau amal ibadah lainnya dengan alasan bahwa itu semua hanya pekerjaan syari’at atau zhahir saja, bukan hakikat atau batin; yang merupakan intinya. Kaum sufi sejati tidak membedakan antara syari’at dengan hakekat. Hakekat tidak akan pernah dapat diraih kecuali dengan jalan syari’at. Dan karenanya syari’at disebut sebagai thariq thariqah, karena ia merupakan jalan menuju hakekat tersebut. Imam al-Junaid al-Baghdadi, pemimpin kaum sufi, berkata طَرِيْقُنَا هذَا مَضْبُوطٌ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ إذِ الطّرِيْقُ إلَىاللهِ مَسْدُوْدَةٌ إلاّ عَلَى المُقْتَفِيْنَ ءَاثَارَ رَسُوْلِ اللهِ Jalan kita ini tasawwuf diikat al-Qur’an dan sunnah rasul, karena sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah Dalam kesempatan lain beliau berkata مَنْ لَمْ يَحْفَظِ القُرْءَانَ وَلَمْ يَكْتُبِ الحَدِيْثَ لاَ يُقْتَدَى بِهِ فِي هذا الأمْرِ، لأنَّ عِلْمَنَا هذا مُقَيَّدٌ بأصُوْلِ السُّنَّةِ Orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak mau menulis hadis, maka ia tidak diikuti dalam urusan ini tasawwuf, karena ilmu kita ini terikat dengan pokok-pokok sunnah Seorang sufi besar lainnya, imam Sahl al-Tustary berkata أصُوْلُ مَذهَبِنَا ثَلاَثَةٌ, الاقتِدَاءُ بِالنَّبِيِّ فِي الأخْلاَقِ وَالأفْعَالِ وَالأكْلِ مِنَ الحَلاَلِ وَإخْلاَصِ النِّيَّةِ فِي جَمِيْعِ الأفْعَالِ Maknanya “Landasan kita ini tasawwuf tiga perkara mencontoh akhlak dan perbuatan rasulullah, makan dari makanan halal dan ikhlas dalam setiap perbuatan”. Pengertian thariqat di atas adalah pengertian secara umum. Artinya seluruh apa yang merupakan ajaran dalam syari’at Islam adalah merupakan jalan untuk mencapai hakekat. Hanya saja belakangan, penyebutan thariqat seakan lebih mengacu kepada apa yang telah dirintis oleh para ulama sufi atau para wali Allah dari bacaan-bacaan atau dzikir-dzikir tertentu untuk mendorong dalam meningkatkan kwalitas takwa. Seperti thariqat al-Qadiriyah, ar-Rifa’iyyah, an-Naqsyabandiyah, as-Syadziliyah ali ba alawi dan lainnya. Pada dasarnya apa yang telah dirintis oleh para ulama tersebut adalah sesuatu yang sangat baik. Seorang murid dihadapan mursyid-nya berjanji untuk memegang teguh syari’at hingga mendapatkan citra takwa, inilah sebenarnya tujuan thariqat. Bacaan-bacaan dzikir tersebut hanya sebagai salah satu sarana untuk meraih citra takwa tersebut. Dalam pada ini para ulama berkata أخْذُ العَهْدِ عَلَى أيِدِيْ المَشَايِخِ مُسْتَحَبٌّ Mengambil janji dalam menjankan syari’at diatas tangan para syekh Mursyid itu disunnahkan. Maksudnya bahwa menjalankan thariqat yang isinya syari’at Islam itu sendiri, dengan ditambah berjanji kepada para syekh untuk selalu berusaha menjalankan syari’at, juga berusaha untuk menjauhi hal-hal yang mubah dengan tidak mengharamkannya, adalah hal yang sangat baik. Inilah pengertian thariqat secara garis besar. Pemimpin para wali Allah Suthanul Auliya, imam Ahmad ar-Rifa’i, perintis thariqat Rifa’iyyah berkata وَاعْلَمْ أنَّ كُلَّ طَرِيْقَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ زَنْدَقَةٌ Ketahuilah sesunggguhnya setiap thariqah menuju jalan Allah yang menyalahi syari’at adalah zindiq Kemudian esensi thariqat tidak lebih dari berzikir, tahlil, takbir, tahmid, istigfar dan shalawat atas rasulullah. Maka jelas tidak ada suatu apapun yang menyalahi syari’at, bahkan sebaliknya syari’at menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu berzikir, istigfar, juga shalawat. DUA AQIDAHYANG SALAH ; HULUL DAN WAHDATUL WUJUD Yang perlu digaris bawahi bahwa para wali Allah perintis thariqat di atas adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah, aqidah yang diajarkan rasulullah dan para sahabatnya. Diantara apa yang diajarkan rasul dalam hal aqidah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat, Dia tidak menyerupai apapun dari makhlukNya. Allah berfirman لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ الشورى11 Dia Allah tidak menyerupaiNya suatu apapun. QS As-Syura11 Dari ayat ini para ulama mengambil kesimpulan إنَّ اللهَ لاَيَحُلُّ فِي شَيءٍ وَلاَ يَنْحَلُّ مِنْهُ شَيءٌ وَلاَ يَحُلُّ فِيْهِ شيءٌ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ Sesungguhnya Allah tidak menempat pada suatu apapun, dan tidak terpisah suatu apapun dari dzatnya, dan tidak suatu apapun menempat pada dzatNya, juga tidak menyerupaiNya suatu apapun. Maka apa yang diyakini segelintir orang tentang aqidah Hulul aqidah sesat yang menyatakan, bahwa Allah menyatu dengan para wali-Nya atau aqidah Wahdatul Wujud aqidah yang juga sesat; menyatakan bahwa Allah menyatu dengan alam semesta adalah suatu kesesatan belaka dan bukan ajaran Islam. Bahkan dua aqidah sesat inilah yang selalu diperangi oleh para imam thariqat itu sendiri. Imam Junaid al-Baghdadi berkata لَوْ كُنْتُ حَاكِمًا لَقَطَعْتُ رَأسَ كُلِّ مَنْ يَقُوْلُ لاَ مَوْجُوْدَ إلاّ اللهُ Andaikan aku seorang penguasa maka pastilah aku akan memenggal kepala tiap orang yang meyakini aqidah wahdatul wujud. Bahkan imam Muhyiddin ibnu Arabi, seorang sufi besar kenamaan, yang oleh sebagian orang orang pemeluk aqidah hulul, sangat giat memerangi dua aqidah sesat tersebut. Diantara ucapan beliau yang sangat masyhur ialah مَنْ قَالَ بِالحُلُوْلِ فدِيْنُهُ مَعْلُوْلٌ وَمَا قَالَ بِالاتّحَادِ إلاَّ أهْلُ الالْحَادِ Orang yang meyakini aqidah hulul maka agamanya cacat tidak sah, dan tidaklah seseorang berkata meyakini aqidah wahdatul wujud kecuali dia dari golongan bukan islam. *** Artikel ini telah tayang di Media Alkhairaat Online dengan judul “Tasawwuf dan Thariqat” pada 9 Juni 2021 HakikatTaqwa Menurut Sayyidina Ali Tags: Hakikat. Makna. Taqwa. Space Iklan 300 x 80 Pixel. Sayyidina Ali Karromallahu wajhah menerangkan bahwa sejatinya taqwa tidaklah sekedar istitsalul awamir waj tinabun nawahi, tetapi taqwa itu adalah:
Sufism is self-cleansing and the human soul for the means to draw closer to God Almighty. The development of Sufism today can not be separated from the tendency of spiritualism. we cannot ignore that there are two very important technical terms namely maqamat and ahwal in Sufism. To reach the position of maqamat and ahwal the stages must be passed by a Sufi. Achievement at the highest station can be realized in the form of behavior changes or commendable morals. That character will deliver a Sufi to the level of mahabbah and ma'rifah. The research method used in this research is the study of literature Library Research. For the results of this study that Sufism is a pattern of Sufism Sufism whose teachings go back to the Qur'an and Sunnah. Maqam and hal are a way to achieve the ideal of the Sufis. Through the process of purification of the soul against the tendency of matter to return to the light of God. When God manifests himself in the soul and clean heart of man in both His majesty and beauty, a person will love the manifestation and feel certain joys, heart feels close qurb, love mahabbah, raja’ , serenity and sense mental conditions are called ahwal. Keywords Sufism, Maqamat and Ahwal, Mahabbah and Ma’rifah Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 214 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Fitriyatul Hanifiyah KONSEP TASAWUF SUNNI Mengurai Tasawuf Akhlaqi, Al-Maqamat dan Ahwal, Al-Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni Universitas Islam Jember, Jember Email Abstract Sufism is self-cleansing and the human soul for the means to draw closer to God Almighty. The development of Sufism today can not be separated from the tendency of spiritualism. we cannot ignore that there are two very important technical terms namely maqamat and ahwal in Sufism. To reach the position of maqamat and ahwal the stages must be passed by a Sufi. Achievement at the highest station can be realized in the form of behavior changes or commendable morals. That character will deliver a Sufi to the level of mahabbah and ma'rifah. The research method used in this research is the study of literature Library Research. For the results of this study that Sufism is a pattern of Sufism Sufism whose teachings go back to the Qur'an and Sunnah. Maqam and hal are a way to achieve the ideal of the Sufis. Through the process of purification of the soul against the tendency of matter to return to the light of God. When God manifests himself in the soul and clean heart of man in both His majesty and beauty, a person will love the manifestation and feel certain joys, heart feels close qurb, love mahabbah, raja’ , serenity and sense mental conditions are called ahwal. Keywords Sufism, Maqamat and Ahwal, Mahabbah and Ma’rifah Received in revised form 2019-12-17 Citation Hanifiyah, F. 2019, Konsep Tasawuf Sunni Mengurai Tasawuf Akhlaqi, Al-Maqamat dan Ahwal, Al-Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni, 62, 214-231. Konsep Tasawuf Sunni 215 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Abstrak Tasawuf merupakan salah satu bentuk pembersihan diri dan jiwa manusia untuk sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan pemikiran tasawuf dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan pembicaraan tentang ajaran tasawuf sebagai perjalanan spiritual, kita tidak dapat megabaikan bahwa terdapat dua istilah teknis yang sangat penting yaitu maqamat dan ahwal. Untuk mencapai posisi maqamat dan ahwal tersebut tahapan-tahapan harus dilalui oleh seorang sufi. Pencapaian pada maqam tertinggi bisa diwujudkan dalam bentuk perubahan perilaku atau akhlak yang terpuji. Akhlak tersebut yang akan mengantarkan seorang sufi kepada jenjang mahabbah dan ma’rifah. . Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kajian literature Library Research. Untuk hasil penelitian ini bahwa tasawuf akhlaqi merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Kata Kunci Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Mahabbah dan Ma’rifah PENDAHULUAN Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani ini dikenal sebagai dimensi esoteric dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fikih, khususnya pada thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang disebut dengan dimensi eksoterik. Berkembangnya pemikiran tasawuf akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan spiritualisme yang merupakan salah satu dari sekian banyak trend besar di era global. Inti ketertarikan manusia modern terhadap dunia spiritual, pada dasarnya digunakan untuk mencari keseimbangan baru dalam hidupnya. Paradigma modern tidak mampu mengungkap kesemestaan kehidupan karena sejak awal telah menolak atau mendekonstruksi realitas yang berada di luar jangkauan indera dan rasio. 216 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Berkenaan dengan itu, agama tampak dijadikan sebagai alternatif paradigma, paling tidak dalam diskursus post modernisme belakangan ini. Agama dipandang sebagai bagian yang sangat penting dan fungsional bagi sejarah perjalanan hidup manusia di masa depan. Akan tetapi, di balik optimisme tentang masa depan agama, terdapat pertanyaan tentang model keberagamaan yang bagaimana yang dapat menyangga kebutuhan spiritualitas tersebut. Dalam konteks pertanyaan seperti ini, tasawuf diharapkan menjadi salah satu alternative untuk mengisi kehampaan spiritual manusia. Dalam pembicaraan tentang ajaran tasawuf sebagai perjalanan spiritual, kita tidak dapat megabaikan bahwa terdapat dua istilah teknis yang sangat penting yaitumaqamat dan ahwal. Untuk mencapai puncak maqamat yang tertinggi, seorang sufi harus menjalani setahap demi setahap. Seorang sufi yang telah mencapai puncak maqam tertinggi tampak termanifestasikan dalam perubahan sikap atau perilaku kepada akhlak yang lebih baik. Akhlak terpuji sebagai bentuk representative dari seorang sufi yang telah mampu menuju jenjang mahabbah atau ma’rifah. Hal ini yang menjadi karakteristik-karakteristik seorang sufi. Untuk mengetahui lebih komprehensif tentang maqamat, ahwal, mahabbah dan makrifah, maka penulis melakukan penelitian kajian literature Library Research mengenai ajaran tasawuf sunni. PEMBAHASAN TOKOH SUFI SUNNI DAN AJARANNYA TASAWUF AKHLAQI Dalam kajian tasawuf abad ke-3 dan 4 Hijriah terdapat kecenderungan para tokoh sufi. Pertama, yang cenderung bersifat gerakan akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian Konsep Tasawuf Sunni 217 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 ajaran ini disebut sebagai Tasawuf Sunni. Kedua, cenderung bersifat tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengetahuan sikap, mental dan pendisiplinan tingkah laku, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang berakhlak mulia yang dalam ilmu tasawuf dengan takhalli pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, tahalli menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji, dan tajalli terungkapnya nur bagi yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa tasawuf akhlaqi ini merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan samping itu, aliran sufi sunni ini cenderung menyorot tasawuf dari sudut moral dan amal syariat yang didiasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk tokoh-tokoh kelompok pertama di antaranya adalah Haris al-Muhasibi. Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri muhasabah. Al-Muhasibi juga menulis Kitab Al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Sedangkan bukunya At-Tawahhum membahas kedahsyatan maut dan hari pembalasan. Adapun pandangannya tentang kemurnian cinta ketuhanan ditulisnya dalam Fasl fi Al-Mahabbah Penjelasan tentang Konsep Cinta. Selain tokoh tersebut, juga dikenal Sirri As-Saqati, Abu Ali Ar-Ruzbari, dan Abu Zaid Al-Adami. Di samping itu, terdapat pula Abu Said Al-Kharraz, Sahl At-Tustari dan Al-Junaid Al-Bagdadi w. 289 H yang paling populer dan mempunyai analisis mendalam mengenai tauhid dan fana dari kalangan tokoh sufi 218 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 sunni. Menurut pemikirannya, memperdalam pengenalan kepada Allah SWT harus bersamaan dengan peningkatan amal dan disiplin diri. Sedangkan untuk tokoh tasawuf filasafat antara lain adalah Zunun Al-Misri. Ia tokoh sufi yang ahli ilmu kimia dan sering disebut sebagai tokoh legendaries. Menurutnya, pengetahuan tentang Tuhan mempunyai tiga tingkatan, yaitu 1 pengetahuan awam, yang diperoleh dengan perantaraan ucapan syahadat, 2 pengetahuan ulama, yang diperoleh dengan menggunakan akal dan logika dan 3 pengetahuan sufi, yang diperoleh dengan hati sanubari. Tingkat terakhir ini juga disebut sebagai ma’rifat, yakni kemampuan hati untuk melihat Tuhan. Tokoh lain yang juga paling berani dari kelompok tasawuf filsafat ini adalah Abu Yazid Al-Bustami w. 260 H, yang secara terus terang mengungkapkan dalam as-sakr mabuk ketuhanan, fana dan baka peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi dan ittihad bersatu dengan Tuhan. Di samping juga, Husain bin Mansur Al-Hallaj yang dianggap paling kontroversial di dalam sejarah tasawuf. Pandangan tasawuf yang dikembangkan Al-hallaj adalah hulul. Setelah Al-hallaj meninggal, tasawuf filsafat makin terdesak oleh tasawuf sunni. Terutama hal itu didukung oleh keunggulan aliran Asy’ariyah dalam teologi yang memiliki kesamaan dengan tasawuf sunni. Di antara tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-5 H adalah Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi yang mengangkat kerangka teoritis tasawuf, walaupun kajiannya bersifat umum dan ringkas. Tokoh lain yang muncul kemudian ialah Abu Ismail Abdullah bin Muhaimad Al-Ansari Al-Harawi yang menulis Manazil As-Sa’inn Ila Rabb Al-Alamin Kedudukan Orang-orang yang Mendekatkan Diri pada Allah SWT. dalam karyanya yang ringkas, ia menguraikan maqamat para sufi yang Abu Su’ud, Islamologi Jakarta PT Rineka Cipta, 2003. Hal. 190. Konsep Tasawuf Sunni 219 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 mempunyai awal dan akhir. Maqam terakhir tidak akan bisa berdiri utuh kecuali di atas landasan awalnya, yaitu ikhlas dan dilaksanakan atas sunnah. Sebagai penganut Hambali, Al-Harawi terkenal sebagai penentang tasawuf filsafat yang dibawa oleh Al-Bustami dan Al-Hallaj. Puncak kecemerlangan tasawuf pada abad ke-5 adalah pada masa Al-Ghazali yang diberi gelar Hujatul Islam. Dengan hasil karyanya yang popular yaitu Ihya’ Ulum Ad-Din, dia mencoba untuk mendamaikan teologi, fikih dan tasawuf. Ia juga membahas secara mendalam perihal ibadah, adat istiadat masyarakat, dosa-dosa yang membinasakan dan jalan menuju keselamatan berupa maqamat dan ahwal. Tidak dipertentangkan lagi bahwa buku Ihya’ Ulum Ad-Din adalah menjadi sumber tasawuf sunni. Adapun ma’rifah adalah tujuan luhur bagi tasawuf. Sedangkan kesatuan antara manusia dengan Tuhan merupakan suatu putusan yang secara logis tertolak di samping tidak bisa diterima secara MENUJU SUFI MAQAMAT DAN KARAKTERISTIK SUFI AL-AHWAL Maqamat dan Ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf. Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang ada di jagad raya jamak dari maqam, yang berarti tahap-tahap perjalanan atau secara lebih populer diterjemahkan dengan “stasiun”, seperti halnya stasiun kereta apai yang harus dilalui sepanjang perjalanan, dari titik “start” sampai kepada “finish” sebagai akhir tujuan perjalanan. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari hal, Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan Jakarta CV. Rajawali, 1988. Hal. 74. 220 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 biasanya diartikan sebagai keadaan mental mental states yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Dengan begitu, maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Pada sisi lain, ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Sekalipun sama-sama dialami dan dicapai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju Tuhannya, namun menurut para sufi terdapat perbedaan yang mendasar antara maqamat dan ahwal, baik dari cara mendapatkannya maupun pelangsungannya. Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karenanya hal itu yang menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi terkadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Dintara ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, ikhlas dan gembira. Meskipun ada perbedaan di antara penulis tasawuf, namun mayoritas mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan Konsep Tasawuf Sunni 221 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 berlangsung sebentar dan diperoleh tidak didasarkan usaha sadar atau perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan Ilahi Divine Flashes.Selain itu, maqam juga mempunyai arti dasar yaitu “tempat berdiri” dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Ia merupakan proses training melatih diri dalam hidup kerohanian riyadlah, memerangi hawa nafsu mujahadah dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan pendapat Al-Qusyairi yang mengatakan bahwa maqam merupakan apa yang terjadi pada hamba Allah berkat ketinggian adab, sopan santunnya yang dihasilkan dengan kerja keras. Di antara para penulis sufi yang berbicara tentang kondisi serta maqam, terdapat nama-nama yang tidak bisa dilupakan begitu saja, yakni Zu an-Nun Al-Misri w. 861, yang telah menulis daftar berisi delapan belas atau sembilan belas tingkatan. Sementara pada saat itu, Yahya Ibn Mu’az dari Iran 872 mengemukakan tujuh atau empat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya menuju Tuhan, pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan susunannya, bahkan juga cara menyampaikan pengalaman spiritual dalam karya-karya mereka. Pengalaman subjektif terhadap dunia spiritual yang objektif ini yang kiranya telah menyebabkan deskripsi, nama dan urutan-urutan maqamat dari seorang sufi berbeda dari yang lainnya. Ada yang memulainya dengan maqam taubat dan mengakhirinya dengan ma’rifat, Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta Erlangga, 2002. Hal. 180. Simuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk, Tasawuf dan Krisis Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001. Hal. 131. Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003. Hal. 129. 222 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 seperti Al-Kalabadzi, ada juga yang memulainya dengan taubat dan mengakhirinya dengan ridha seperti Al-Ghazali. Demikian juga maqamat yang dilalui, ada yang menyebutnya 6 maqamat, 7 atau bahkan 10 maqamat. Demikian juga ada yang mengatakan bahwa ridha, misalnya sebagai “maqam” Al-Kalabadzi, Al-Ghazali dan Qusyairi, ada juga yang menganggap sebagai “ahwal”, seperti yang diyakini misalnya oleh Abu Utsman Al-Hiri. Selain perbedaan tersebut para sufi juga dalam hal pelangsungan dalam “ahwal”. Ada yang mengatakan bahwa beberapa ahwal adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap, maka menurut seorang guru Al-Qusyari, itu sekedar omongan nafsu. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman Al-Hiri justru mengatakan jika hal tidak abadi dan tidak terdelegasikan, maka itu hanyalah kilatan dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya. Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Munculnya perbedaan persepsi ini baik mengenai maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman subjektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Di antara beberapa pendapat tentang maqamat adalah sebagai berikut 1. Al-Kalabadzi Terdapat setidaknya 10 maqamat yang dapat ditemukan di dalam kitabnya, yaitu tobat al-taubah, zuhud al-zuhd, sabar al-shabr, kefakiran al-faqr, rendah hati al-tawadhu, tawakkal al-tawakkul, kerelaan al-ridha, cinta al-mahabbah, dan ma’rifat al-ma’rifah. Pertama, tobat al-taubah. Tobat bagi al-Kalabadzi adalah bahwa seseorang telah melupakan dosanya, dalam arti ia telah melupakan segala manisnya dosa sama sekali dalam hatinya. Karena itu, orang Mulyadhi Kartanegara, hal. 182. Konsep Tasawuf Sunni 223 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 yang telah bertobat atau tobatnya diterima, tidak tertarik lagi pada dosa yang pernah ia lakukan. Kedua, zuhud al-zuhd. Dari beberapa definisi zuhud yang dikutip Al-Kalabadzi, dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah cara hidup yang bersahaja. Adapun keutamaan seorang zahid adalah bahwa tidak ada yang bisa memilikinya kecuali Tuhan. Ketiga, sabar al-sabr. Salah satu arti sabar yang dikutp Al-Kalabadzi adalah “pengharapan akan kesenangan atau kegembiraan dari Allah dan ini merupakan pengabdian yang paling mulia. Keempat, kefakiran al-faqr. Kefakiran diartikan sebagai seseorang tidak patut mencari yang tiada. Kefakiran yang lebih tinggi ialah bahwa ia merupakan ketiadaan dari setiap benda yang ada dan meninggalakan segala sesuatu yang bisa hilang. Kelima, rendah hati al-tawadhu’. Salah satu pengertian rendah hati yang dikutip Al-Kalabadzi adalah “kehinaan atau kerendahhatian kepada Dia yang mengetahui yang gaib”. Keenam, takwa al-taqwa. Menurut Kalabadzi menghindari apa yang dilarang dan memutus hubungan dengannya dari jiwa. Ketujuh, tawakkal al-tawakkal. Menurut Al-Kalabadzi tawakkal adalah meninggalkan segala daya dan upaya dengan mengatakan “la haula wa la quwwata illa billah”. Kedelapan, ridha al-ridha. Ridha adalah diamnya hati dalam guratan nasib. Kesembilan, cinta al-mahabbah. Al-Junayd berkata, “cinta adalah kecondongan hati yakni kecondongan hati kepada Allah dan segala sesuatu yang menyangkut Allah tanpa upaya apapun”. Terakhir, ma’rifat al-ma’rifah. Menurut salah seorang sufi ma’rifat ada dua macam. Pertama, ma’rifat kebenaran, yaitu menyatakan keesaaan Tuhan atas sifat-sifat-Nya, sedangkan ma’rifat kedua adalah ma’rifat di mana tidak ada cara apapun untuk mencapai ma’rifat tersebut, karena 224 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 sifat Tuhan tidak bisa ditembus dan verifikasi ketuhanannya tidak mungkin bisa Al-Qusyairi Menurut Qusyairi dalam kitabnya Al-Risalat Al-Qusyairiyyah, maqamat terdiri dari tobat, wara’, zuhud, tawakal, sabar dan tobat. Menurut Qusyairi tobat adalah kembali, yaitu kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang diridhai oleh-Nya. Syarat yang harus dipenuhi agar tobatnya diterima ialah menyesali pelanggaran yang telah dilakukan dan berkomitmen utnuk tidak kembali kepada kemaksiatan. Kedua, wara’. Wara’ menurut Abu Ali Daqqaq adalah “meninggalkan apapun yang syubhat”. Ibrahim ibn Adham mengatakan wara’ yaitu “meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti dan apa pun yang berlebihan”. Ketiga, zuhud. Zuhud yang dimaksud di sini adalah zuhud terhadap dunia al-zuhd fi al-dunya. Zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi untuk kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya. Buah dari zuhud adalah kedermawanan. Adapun indikator orang zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dengan harta yang dimilikinya. Keempat, tawakkal. Menurut Abu Sahl bin Abdillah, tawakkal adalah “menyerahkan diri kepada Allah dalam apapun yang dikehendaki oleh-Nya”. Kelima, sabar. Al-Qusyairi membagi sabar menjadi dua bagian, yaitu sabar terhadap apa yang diupayakan dan sabar terhadap apa yang tidak diupayakan. Sabar yang diupayakan yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Sedangkan sabar yangtidak diupayakan adalah kesabaran dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaan baginya. Keenam, ridha. Al-Qusyairi Konsep Tasawuf Sunni 225 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 mengatakan bahwa awal ridha adalah sesuatu yang dicapai oleh sang hamba dan merupakan maqam, tetapi pada akhirnya ridha merupakan keadaan rohani hal dan bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya Al-Ghazali Dalam buku Ihya’ Ulum Al-Din, Al-Ghazali menyebut beberapa maqamat antara lain adalah tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, mahabbah dan ridha. Pertama, tobat. Menurut Al-Ghazali tobat adalah penyesalan. Kedua, sabar. Al-Ghazali berpendapat bahwa ada dua macam sabar yaitu sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Sedangkan sabar yang kedua disebut dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabiat atau tuntutan hawa nafsu. Ketiga, kefakiran. Kefakiran diartikan oelh Al-Ghazali sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan. Maka dalam arti ini, seluruh wujud selain Allah adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan Tuhan untuk kelanjutan wujudnya. Keempat, zuhud. Zuhud didefiniskan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian atau celaan karena keakrabannya dengan Tuhan. Kelima, tawakkal. Tawakkal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang, yang kemudian disebut wakil dan memercayakan kepadanya dalam urursan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan urusan kepada orang lain kecuali ia merasa tenang dengannya, percaya dan mempercayakan kepadanya baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tawakkal kepada Allah, Wakil yang sangat dapat 226 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 dipercaya, Maha Kuasa dan mempunyai kecakapan yang tiada batasnya. Keenam, cinta Ilahi/mahabbah. Menurut Al-Ghazali orang yang mencintai sesuatu, yang tidak punya keterkaitan dengan Allah, maka orang tersebut melakukannya karena kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah. Adapun cinta kepada selain Allah tetapi masih terkait dengan Allah, maka hal tersebut masih dipandang baik. Misalnya, cinta kepada Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah kecintaan kepada Allah. Cinta kepada siapa pun yang Allah cintai adalah baik, karena pecinta kekasih Allah adalah juga pecinta Allah. Ketujuh, ridha. Maqam terakhir menurut Al-Ghazali adalah DAN MAHABBAH 1. Ma’rifah Kata ma’rifah berasal dari kata arafa yang artinya mengenal. Istilah tersebut bersumber dari hadits Rasulullah SAW,  Barang siapa yang mengenal dirinya sesungguhnya dia mengenalnya Tuhannya. Diri manusia pada hakikatnya penuh dengan segala ketergantungan dan kefanaan. Sedangkan Allah SWT memiliki kebesaran, kekuasaan, kekekalan serta memiliki seluruh sifat-sifat kesempurnaan. Tidak ada satu pun manusia yang mampu mengenal-Nya dalam arti hakiki kecuali dengan karena-Nya. Hal ini senada dengan ungkapan Dzun Nun Al-Mishry    Aku kenal Tuhanku dengan karena Tuhanku jua. Yakni, manusia dapat mengenal Tuhan dengan hidayat-Nya, kuasa-Nya dan iradat-Nya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat para sufi dalam kitab Ayqazh Al-Himam dan Al-Risalah Al-Qusyairiyyah         Orang yang makrifat kepada Allah dengan Dia, maka itulah diaarif hakiki. Syekh Dzun Nun Al-Mishry ditanya Konsep Tasawuf Sunni 227 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 orang Dengan apa anda mengenal Tuhan anda? Beliau menjawab; aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku jua, tanpa Dia, tidak mungkin aku dapat mengenal ulama sufi sepakat bahwa pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang mampu mengenal Allah kecuali dengan atau karena Allah jua. Setidaknya, ada tiga alasan mendasar dari kalangan sufi atas konsep ini, yaitu a Saat awal kehadiran manusia di muka bumi, Nabi Adam AS membawa pengetahuan tentang Allah SWT. Dan tentang segala sesuatu karena diajarkan oleh Allah sendiri kepadanya, yang sebelumnya dia tidak mengerti apa-apa  “Allah ajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” QS Al-Baqarah ayat 31 b Lahirnya seorang anak manusia dari kandungan ibunya tanpa pengetahuan apa-apa, sebagaimana difirmankan Allah SWT  “Allah yang mengeluarkan kamu dari perut ibumu, dan kamu tidak mengerti apa-apa” QS An-Nahl ayat 78. Mengenai ada dan tersedianya apa yang dinamakan dengan watak, bakat, intelegensi, naluri dan lain-lainnya adalah bersifat khalqiyyat ciptaan dan bukan meruapakan buatan manusia itu sendiri. c Faktor keterbatasan manusia merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Di sini pengetahuan yang dimiliki manusia timbul dan berkembang karena adanya kombinasi antara faktor intern unsur-unsur khalqiyyat dengan faktor ekstern alam dan hubungan manusia Fadli Rahman, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah, Malang In-Trans Publishing. Hal. 45. 228 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 dengan lingkungan. Dengan demikian, pada hakikatnya ma’rifah kepada Allah hanya dapat dicapai karena Allah, yakni dengan petunjuk-Nya, hidayah-Nya dan kehendak-Nya. Abu Yazid seorang sufi mengungkapkan bahwa mereka yang telah mencapai tingkat ma’rifah adalah mereka yang dalam batin tidak menghiraukan sesuatu yang ada pada mereka dan bertahan pada apa yang ada pada Allah SWT. Di samping itu juga, Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah adalah sirr. Dijelaskan oleh Qusyairi bahwa di dalam tubuh manusia terdapat tiga alat yang dipergunakan oleh para sufi untuk berhubungan dengan Tuhan; pertama, qalb, yaitu alat yang dipakai untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua ialah ruh, yakni alat untuk mencintai Tuhan dan yang ketiga adalah sirr, yaitu alat untuk dapat melihat Mahabbah Seorang sufi sejati, setelah merealisasikan sepenuhnya pola dan teladan yang ditetapkan Nabi Muhammad SAW., secara batiniah sudah mabuk dengan Allah dan secara lahiriah tetap tidak mabuk dengan dunia. Kemabukan spiritual adalah buah keberhasilan menemukan Allah. Kaum sufi biasanya berdoa kepada Allah dalam bahasa cinta, pengalaman paling kuat dan paling intens dalam kehidupan menggunakan bahasa ini, mereka menuruti bukan hanya segenap realitas dari fitrah manusia, melainkan juga ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Yang sangat signifikan adalah ayat berikut ini “katakanlah wahai Muhammad, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian” QS. Ali Imran; 31. Menurut pembacaan khas sufi atas ayat ini, yaitu cinta kepada Allah akan mendorong seorang menempuh jalan sufi untuk saling mencintai, Konsep Tasawuf Sunni 229 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 yakni bahwa sang pecinta ingin dicintai oleh Kekasihnya dan merasakan anggur cinta Kekasihnya. Tidak ada seorang pecinta bahagia tanpa perasaan cinta timbal balik. Ayat tersebut menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa cinta kepada Allah adalah dengan meneladani kesederhanaan Nabi Muhammad SAW., dan ini berarti harus mengikuti perilakunya, yakni Sunnah yang dikodifikasikan dalam syariat. Dalam sebuah Hadits yang sering dikutip dalam karya-karya sufi, Nabi Muhammad SAW., menguraikan apa yang terjadi ketika orang-orang yang mencintai Allah mengabdikan diri mereka sepenuhnya kepada Kekasih mereka. Pengabdian seperti ini harus dibuktikan melalui dua macam praktik, yaitu mengerjakan amal-amal ibadah wajib dan sunnah, yang dikodifikasikan dalam syariat. Setelah para penempuh jalan sufi benar-benar mencintai Allah, mereka pun akan dicintai oleh-Nya. Cinta Allah bisa membuat mereka mabuk dan menghilangkan semua kekurangan dan keterbatasan mereka sebagai manusia. Cinta Allah dapat pula melenyapkan kegelapan temporalitas dan kemungkinan, serta menggantikannya dengan pancaran keabadian Allah. Menurut Al-Ghazali cinta kepada Allah adalah suatu hasil terakhir dari ma’rifatullah. Ajaran tasawuf dan umumnya ajaran Islam ialah membangkitkan rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah. Jika rasa cinta telah melekat dalam diri jiwa seseorang, maka ketika ia menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya akan terasa nikmat. Karena ia melakukannya dengan ikhlas, dengan kesadaran hati bukan karena kepada Allah ialah suatu sikap mental yang mendorong manusia untuk mengagungkan Allah, menuntut keridhaan-Nya, ingin selalu William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi Bandung Mizan, 2002. Hal. 77. Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf Surabaya Visi 7, 2006. Hal. 190. 230 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 bertemu dengan-Nya dan tidak tenang dengan sesuatu selain daripada Allah. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf akhlaqi merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian ajaran tasawuf akhlaqi tersebut merupakan ajaran yang terdapat dalam aliran sufi sunni. Tasawuf sunni ini cenderung menyorot tasawuf dari sudut moral dan amal syariat yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk tokoh-tokoh sufi sunni di antaranya adalah Haris al-Muhasibi. Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri muhasabah. Al-Muhasibi juga menulis Kitab Al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Di antara tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-5 H adalah Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi, selain itu juga Al-Ghazali. Sedangkan maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Pada sisi lain, ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Konsep Tasawuf Sunni 231 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 DAFTAR PUSTAKA Chittick, William C., Tasawuf di Mata Kaum Sufi Bandung Mizan, 2002 Ernst, Carl W., Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003 Hasyim, Ali, Menuju Puncak Tasawuf Surabaya Visi 7, 2006 Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta Erlangga, 2002 Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam Metode dan Penerapan Jakarta CV. Rajawali, 1988 Mukhlis, Tasawuf yang Dipuja, Tasawuf yang Dikutuk Jogjakarta Genta Press, 2008 Rahman, Fadli, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah Malang In-Trans Publishing Rahman, Fazlur, Islam Jakarta Bina Aksara, 1987 Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia Jakarta Pustaka Iiman, 2009 Simuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk., Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001 Su’ud, Abu, Islamologi Jakarta PT Rineka Cipta, 2003 Aris PriyantoMaqamat adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah dalam hal ibadah dan latihan-latihan riyaḍah jiwa yang dilakukannya. Maqamat juga terdapat dalam kitab Salalim Al-Fuḍala karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Keberadaan maqamat sangat penting dalam perjalanan spiritual seorang salik untuk bisa sampai kepada Allah dan menjadi kekasih-Nya. Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk 1. mengetahui konsep maqamat Syekh Nawawi al Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuḍala; 2. mengetahui maqam-maqam yang terdapat dalam Kitab Salalim Al-Fuḍala. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani memahami maqamat sebagai sebuah wasiat yang harus dijaga dan diamalkan oleh seorang salik. Sedangkan maqamat menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuḍala’ adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang salik untuk sampai kepada Allah dan menjadi kekasih-Nya dengan cara menjaga dan mengamalkan sembilan wasiat. Sembilan wasiat tersebut menurutnya adalah taubat, qana’ah, zuhud, belajar ilmu syari’at, menjaga ibadah sunnah, tawakal, ikhlas, uzlah, dan menjaga waktu. Selain itu, ada tiga macam maqam yang ditawarkan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Salalim al-Fuḍala yang tidak terdapat dalam macam-macam maqam para tokoh sufi lainnya. Ketiga macam tersebut antara lain; belajar ilmu syari’at, menjaga ibadah sunnah, dan menjaga waktu. Sehingga ketiga tersebut akhirnya menambah jumlah maqamat yang ada dalam disiplin ilmu tasawuf, dimana ketiga maqam tersebut tidak ditemukan dalam konsep maqamat para tokoh sufi dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to SufismCarl W ErnstErnst, Carl W., Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003Abdul SimuhAmin MuhayyaDkk SyukurSimuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk., Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001
  1. У йኩσኒдιዩοչ
    1. Врацоб ызвунαη ሽуκሊ иςой
    2. Мογуւубοφ е йխዣ щезιшо
  2. Про εпрութ
  3. Р υкл зևծሩፅէ
    1. Щ рс υ аψуկիктኢթ
    2. Еվоጳеδазիπ оሼαцոρиγяж
    3. Гоτυςεսጰ опрοдубоբо ጲቢιсθ
  4. ፆጫυጳоշи ቨαпр
    1. Жащևнт лխчըዒቹщεч
    2. Ακира де оциσуճቯፖеս κ
. 358 64 137 230 468 255 143 104

hakikat taqwa menurut sufi